Jembatan gantung sepanjang 100 meter menyeberangkan kami menuju sisi lain sungai Surian anak sungai Batanghari, berjalan terus ke pedalaman hutan sebelum akhirnya dari balik pepohonan kita bisa menjumpai satu pemukiman kecil orang rimba, Suku Anak Dalam
Hujan barusan berhenti, tanah becek menuntun kami berjalan di antara pondok-pondok beratap rumbia, jumlahnyha tak lebih dari sepuluh. Kami melewati rumah-rumah tak berdinding itu tepat di tengah pemukiman mereka. Wajah-wajah indigenous menatap kami penuh tanya, para perempuan sedang menghadap perapian dimana terdapat kuali di atasnya. Mereka sedang memasak sesuatu untuk makan. Sementara kolong-kolong rumah mereka diramaikan dengan hiruk pikuk ayam, anjing dan babi,
Riuh anak-anak tiba-tiba menyeruak berlarian melewati kami menuju terpal biru yang ujung-ujungnya diikatkan ke dahan pohon membentuk tenda. Disana mereka duduk bersila menghadap ke arah Yunus Opahe yang membelakangi papan tulis. Sorot mata mereka memancarkan keinginan tahuan yang besar.
Anak-anak terladang ikut berburu bersama-sama orang tua atau bermain di sungai kecil. Hari itu, kami beruntung sudah ada 15 anak yg datang, jadi tidak perlu repot mengumpulkan mereka., penjelasan Yunus. yang mulai pelayanan pendidikan di sini sejak Februari 2016.
Ini adalah kelompok suku Anak Dalam Pulau Lintang, disebut demikian karena mereka bermukim di kawasan desa Pulau Lintang, Kabupaten Sarolangun Propinsi Jambi. Jumlah mereka saat ini ada 23 kepala keluarga dengan 50 anak-anak.
Bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk menjangkau masyarakat meramu. Pelayanan ini sendiri dimulai pada bulan Januari 2013, ketika Dominggo Mang datang ke hutan ini dan mendapati tujuah keluarga Suku Anak Dalam. Hanya seorang saja yang bisa berbahasa Indonesia. Saat itu mereka tinggal di satu pondok kecil yang hanya muat empat orang, sementara orang yang lain tidur di bawah-bawah pohon.
Dominggo mencoba berkomunikasi meski awalnya sangat sulit, lama kelamaan ia dapat berkomunikasi dengan suku Anak Dalam tersebut. Dominggo sempat mengajarkan mereka bercocok tanam agar mereka mau menetap dan tidak berpindah-pindah tinggalnya di dalam hutan.Tetapi awal bulan Juni tahun itu mereka pergi melanjutkan migrasi ke pedalaman hutan, sehingga Dominggo kehilangan mereka.
Dominggo kaget bercampur bahagia ketika sebulan kemudian ia mendapat informasi kalau kelompok itu telah kembali bermukim di tempat yang sama.
Domingo juga mengajari mereka untuk berkebun singkong, dan sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu Dominggo mengajari mereka untuk berkebun tanaman keras, seperti gaharu dan karet yang kelak bisa menunjang kehidupan ekonomi mereka dan anak-anak di masa depan.